MAKALAH FILSAFAT HUKUM
Analisis tentang Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Hubungan antara Hukum dan Kekuasaan
Oleh :
Nama ;Vivi Gustin Liyawati
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini mencuat kasus yang sedang ramai dibicarakan public baik di media cetak, televisi maupun media sosial. Kasus yang berglir di masyarakat tersebut adalah kasus dugaan pelanggaran/penyalah gunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Setya Novanto, Ketua DPR RI Periode 2014-2019. Kasus pelanggaran tersebut adalah kasus dugaan koruspi E-KTP.
Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-KTP adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi. Program e-KTP diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Program e-KTP di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2009 dengan ditunjuknya empat kota sebagai proyek percontohan nasional. Adapun keempat kota tersebut adalah Padang, Makasar, Yogyakarta dan Denpasar.
Setya Novanto adalah orang yang diduga melakukan korupsi E-KTP dalam jumlah besar/banyak. Berbelitnya pengungkapan kasus dugaan korupsi E-KTP yang melibatkan DPR Setya Novanto, menguras energy berbagai pihak terutama KPK. Banyak pihak yang merasa berkepentingan dan melibatkan diri dalam proses pengungkapan, misalnya Komisi III DPR denga membentuk Hak Angket KPK bermaksud mengganjal langkah KPK. Hal ini dikarenakan banyaknya nama-nama anggota dewan yang diduga menerima aliran dana korupsi. Langkah penasehat hokum Setya Novanto pun berusaha menghalangi langkah hokum KPK saat di tetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Kalangan partai yang berada di belakang komisi III juga seringkali membuat statemen yang menyerang KPK.
Sudah menjadi ciri Indonesia, bahwa saat penguasa melakukan penyalahgunaan kekuasaan mereka pasti berusaha mencari dalil/justifikasi dan dukungan untuk berkelit. Kekuatan pendukung itu seringkali melibatkan organisasi partai politik atau elit-elit politik tertentu. Behkan mereka berusaha mencari dukungan ke lembaga-lembaga non politik seperti Kepolisian atau TNI bahkan Presiden dengan berbagai cara yang tida mungkin menjadi mungkin.
Melihat dari sisi kasus korupsi Setya Novanto ini seharusnya memperhatikan adanya hubungan hukum dan kekuasaan, dimana kedua hal itu ibarat 2 sisi mata uang. Berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Hukum perlu kekuasaan agar hukum dapat dijalankan. Kekuasaan perlu hukum sebagai pembatas jalannya kekuasaan agar tidak keluar dari batas kewenangannya. Mengingat bahwa setiap kekuasaan selalu ada sifat negativenya yaitu cenderung disalah gunakan maka seringkali intervensi masuk ke dalam hukum, dan jika hukum dapat dikendalikan oleh kekuasaan, maka sebuah sistem akan berjalan amburadul. Makka dari itu disini penulis ingin membahas tentang Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Hubungan antara Hukum dan Kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Hukum?
2. Bagaimana Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Kekuasaan Para Penegak Hukum?
C. Tujuan
1. Mengetahui Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Hukum;
2. Mengetahui tentang Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Kekuasaan Para Penegak Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Hukum.
Pada awalnya KPK menerbitkan surat penangkapan surat perintah penangkapan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto. KPK sebelumnya menghimbau agar Novanto menyerahkan dirinya. Tim KPK yang mendatangi kediaman Novanto tidak mendapati yang bersangkutan di rumah. Akhirnya tim KPK melakukan pencarian Setya Novanto. Namun Setya Novanto tak kunjung ditemukan, hingga pada suatu malam Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan, dan dirinya dibawa ke Rumah sakit. Sampai pada akhirnya ketika Setya Novanto diakatakan oleh dokter bahwa kondisinya sudah baik-baik saja maka tim KPK pun segera memburu Setya Novanto untuk menjalani proses persidangan.
Dilihat dari proses penangkapan Setya Novanto disini KPK telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun ada beberapa anggota Komisi III DPR yang mengatakan bahwa mereka melihat proses penangkapan KPK terhadap Setya Novanto dianggap terlalu over acting. Namun penulis dalam point ini dapat menyimpulkan jika KPK tersebut melakukan penangkapan Setya Novanto tidaklah terlalu Over Acting, bagaimana dengan Setya Novanto sendiri yang dari awal melakukan drama-drama indah agar dirinya tidak ditemukan oleh KPK, mulai dia menghilang tiba-tiba, menabrak tiang listrik, hingga Setya Novanto buang air besar di persidangan dengan mengatakan bahwa dia semalam sebelum mengikuti persidangan bolak-balik sebanyak 22 kali ke kamar mandi dikarenakan mencret. Dalam hal ini dapat kita lihat KPK bersikap Over Acting dalam proses penangkapan Setya Novanto sebenarnya dikarenakan Setya Novanto sendirilah yang berbelit-dan tidak mau meyerahkan diri kepada KPK. Tidaklah mungkin KPK berdiam diri dan tidak melakukan pencarian ketika Setya Novanto menghilang secara tiba-tiba. KPK bahkan sudah mengingatkan Setya Novanto untuk menyerahkan diri, namun surat-surat yang diberikan KPK kepada Setya Novanto tidaklah digubris olehnya.
Meskipun dalam penangkapan Setya Novanto, KPK melakukan pengerahan kepolisian dalam jumlah yang besar ke rumah Setya Novanto. Memanggil paksa di tengah malam dan melakukan siaran pers, semua itu semata-mata dilakukan KPK untuk mengadili Pejabat tinggi Negara yang menyalah gunakan wewenangnya, dimana masyarakat dan negara mengalami kerugian yang sangatlah besar. KPK hanya ingin kasus Sety Novanto ini segera terbukti dan mendapatkan putusan, karena KPK sendiri telah menemukan bukti-bukti yang kuat dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Setya Novanto.
Menurut Penulis salah satu cara yang digunakan KPK dalam penangkapan pejabat-pejabat yang korupsi adalah dengan melakukan Penyadapan. Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagian besar diperngaruhi oleh berhasilnya tindak penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Penyadapan adalah merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan informasi dalam upaya pengungkapan kasus dan sebagai dasar menetapkan langkah penyelidikan berikutnya. Rekaman hasil penyadapan tidak dapat menjadi alat bukti, namun informasi dalam rekaman hasil penyadapan tersebut terbukti sangat efektif untuk dapat memperoleh alat bukti menurut KUHAP sehingga mampu mengungkap adanya tindak pidana korupsi.
Dalam rangka pemberantasan korupsi, maka undang-undang memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa : ”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”.
Penyadapan KPK pada dasarnya tidak dapat dianggap pelanggaran hukum sebelum ada undang-undang khusus yang mengatur secara rinci mekanisme dan batasan pelaksanaan penyadapan oleh KPK. Hal tersebut dikarenakan sistem hukum di Indonesia menganut asas legalitas (principle of legality) yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan.
Penyadapan KPK baru dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hukum adalah manakala proses penyadapan tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang misalnya orang KPK melakukan penyadapan padahal dia bukan merupakan penyidik KPK yang sedang memeriksa suatu perkara. Hal tersebut dikarenakan dalam pasal 12 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang KPK disebutkan bahwa dalam masalah penyidikan dan penyelidikan KPK berwenang melakukan penyadapan. Pada dasarnya penyadapan sangat diperlukan untuk mendapatkan bukti dalam kasus “kerah putih” (korupsi) ini, oleh karena sulitnya mendapatkan bukti dalam perkara ini sehingga cara konvensional dianggap sudah tidak lagi efektif digunakan.
Disini kita seharusnya memperhatikan adanya hubungan hukum dan kekuasaan, dimana kedua hal itu ibarat 2 sisi mata uang. Berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Hukum perlu kekuasaan agar hukum dapat dijalankan. Kekuasaan perlu hukum sebagai pembatas jalannya kekuasaan agar tidak keluar dari batas kewenangannya. Mengingat bahwa setiap kekuasaan selalu ada sifat negativenya yaitu cenderung disalah gunakan maka seringkali intervensi masuk ke dalam hukum, dan jika hukum dapat dikendalikan oleh kekuasaan, maka sebuah sistem akan berjalan amburadul
KPK tidak akan mungkin menangkap seseorang jika KPK sendiri tidak mempunyai bukti yang kuat akan orang yag ditangkapnya. Disini yang ditangkap adalah Setya Novanto dimana dia adalah pejabat tinggi Negara Indonesia, jika dia di periksa sesuai dengan keinginan KPK tidak ada salahnya, sejauh ini KPK dalam bertindak menangkap Setya Novanto tidak ada perlakuan-perlakuan yang menyatakan KPK melanggar hukum. KPK hanya melakukan tugas dan kewenangannya sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B. Proses Pengungkapan Dugaan Korupsi dalam Kasus E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Aspek Kekuasaan Para Penegak Hukum.
Dilihat dari Penegak Hukum dalam tim KPK maka mereka setuju dan sangatlah yakin jika Setya Novanto melakukan korupsi E-KTP. Namun jika dilihat dari sebagian orang yang mendukung Setya Novanto pasti mereka akan berkoar dan mencari cari kesalahan KPK. Misalnya saja Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil mengatakan bagaimanapun juga Setya Novanto adalah pimpinan lembaga tinggi negara. "Harusnya ada cara-cara yang lebih baik dalam proses hukum yang dilakukan terhadap Setya Novanto," kata Nasir Djamil, kepada Republika.co.id, Senin (20/11).
Nasir menyinggung soal hal-hal yang dianggap berlebihan, seperti adanya pengerahan kepolisian dalam jumlah yang besar ke rumah Setya Novanto. Memanggil paksa di tengah malam dan melakukan siaran pers, padahal Novanto masih dalam keadaan sakit. "Kenapa tidak ditunggu esok pagi harinya."
Nasir tidak mempersoalkan proses hukum yang dilakukan terhadap Setya Novanto. Karena setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Namun cara yang digunakan KPK dalam menangkap Setya Novanto semestinya bisa dilakukan dengan cara yang lebih baik. "Bagaimanapun kan Pak Novanto Ketua DPR juga ketua umum Partai Golkar," kata Nasir.
Dengan kejadian itu, lanjut Nasir, pihak Komisi III akan mempertanyakan hal itu kepada KPK. "Tadinya hari ini akan ada rapat bersama Kejaksaan, Polri, dan KPK. Tapi karena banyak yang berhalangan dan hanya perwakilan pimpinan, kita minta ditunda dulu," jelas dia. Pada pertemuan nanti, lanjut Nasir, persoalan penangkapan Setya Novanto akan dipertanyakan kepada KPK.
Disini dapat kita lihat teman dari Setya Novanto membelanya, dikarenakan ada kemungkinan dia juga mendapatkan bagian aliran dana korupsi tersebut. Kita tahu bahwa Setya Novanto melakukan korupsi, ketika seseorang dikatakan salah dan telah melanggar hukum yang telah ada sudah sepatutnya dia harus diadili. Hukum Indonesia tidak berbicara bahwa adanya etika perbedaan proses penangkapan antara Pejabat Tinggi Negara dengan Masyarakat biasa. Hukum tidak peduli apa dan siapa itu Setya Novanto, hukum hanya tahu bahwa Setya Novanto adalah pejabat tinggi Negara yang harus di hukum karena dia melakukan korupsi. Meskipun Setya Novanto itu Ketua Umum Partai Golkar, semua itu tidak bisa disangkut pautkan dengan kasus korupsi E-KTP. Disini kita dapat melihat adanya dukungan dari kalangan pejabat Negara yang membela Setya Novanto, dimana hal ini tentunya akan mempengaruhi dan menghalang-halangi proses hukum Setya Novanto tersebut. KPK hanya menjalankan tugasnya.
Namun semua itu kembali lagi pada ciri Indonesia, bahwa saat penguasa melakukan penyalahgunaan kekuasaan mereka pasti berusaha mencari dalil/justifikasi dan dukungan untuk berkelit. Kekuatan pendukung itu seringkali melibatkan organisasi partai politik atau elit-elit politik tertentu. Behkan mereka berusaha mencari dukungan ke lembaga-lembaga non politik seperti Kepolisian atau TNI bahkan Presiden dengan berbagai cara yang tida mungkin menjadi mungkin.
Melihat dari sisi kasus korupsi Setya Novanto ini seharusnya memperhatikan adanya hubungan hukum dan kekuasaan, dimana kedua hal itu ibarat 2 sisi mata uang. Berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Hukum perlu kekuasaan agar hukum dapat dijalankan. Kekuasaan perlu hukum sebagai pembatas jalannya kekuasaan agar tidak keluar dari batas kewenangannya. Mengingat bahwa setiap kekuasaan selalu ada sifat negativenya yaitu cenderung disalah gunakan maka seringkali intervensi masuk ke dalam hukum, dan jika hukum dapat dikendalikan oleh kekuasaan, maka sebuah sistem akan berjalan amburadul.
Disini para penegak hukum tidak bisa bekerjasama dengan hukum yang ada, hukum harus bisa bekerjasama dengan kekuasaan begitu juga sebaliknya kekuasaan harus bisa bekerja sama dengan hukum. Para penegak hukum masih ada saja yang membela dan berada di pihak Setya Novanto, sedangkan hukum berkata lain bahwa Setya Novanto telah melakukan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketidak adanya hubungan antara keduanya inilah yang mengakibatkan proses hukum cenderung sulit untuk ditemukan titik terangnya, sehingga kasus Setya Novanto ini menimbulak Pro Kontra yang berkepanjangan. Masih banyak pihakk-pihak yang mempunyai kekuasaan ingin menang sendiri dengan kata lain mereka ingin mengendalikan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan antara Hukum dan Kekuasaan tidak berjalan dengan baik di Indonesia ini, biasanya orang yang mempunyai kekuasaan cenderung ingin mengendalikan Hukum.
2. Kasus korupsi pengadaan e-KTP ini melibatkan beberapa tersangka yang berasal dari Kementrian Dalam Negeri. Selain itu juga dibutuhkan keberanian dari KPK sendiri agar diharapkan mampu mengusut kasus korupsi ini hingga tuntas. Karena, sampai saat ini kasus korupsi pengadaan e-KTP belum dapat dikatakan selesai atau berakhir .
B. Saran
1. Adanya kerjasama yang baik antara para Penegak Hukum untuk membela yang benar, tidak membela yang salah.
2. Dibutuhkan keberanian dari KPK sendiri agar diharapkan mampu mengusut kasus korupsi hingga tuntas.
3. KPK harus lebih sering melakukan penyadapan agar siapa saja yang teridentifikasi melakukuan korupsi bisa tertangkap oleh KPK.
DAFTAS PUSTAKA
3. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hal. 23.
Kak aku izin copas buat tugas sekolah
BalasHapus