MAKALAH TENTANG
PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA PIDANA KECELAKAAN LALU
LINTAS
Disusun oleh:
Nama : Vivi Gustin
Liyawati
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah
satu persoalan yang sering dihadapi oleh kota-kota besar adalah lalu lintas.
Persoalan yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain adalah kemacetan,
kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas. Persoalan-persoalan ini disebabkan banyaknya mobil dan motor yang
berada dijalan raya. Perkembangan lalu lintas sendiri itu memberi pengaruh baik
dan pengaruh buruk kepada masyarakat. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh
banyak faktor yang mana tidak hanya dilakukan oleh pengemudi kendaraan yang
buruk, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kerusakan kendaraan, dan bisa juga
karena kurangnya kesadaran akan rambu-rambu lalu lintas.
Lalu
lintas dan pemakai jalan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis
sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan pengguna jalan
yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur. Pembinaan di bidang
lalu lintas jalan yang meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan lalu
lintas harus ditujukan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran lalu
lintas jalan.[1]
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Polri) untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dengan
demikian Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.[2]
Salah
satu peran polisi lalu lintas adalah penegakan hukum meliputi penindakan
pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum bidang lalu
lintas adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-
norma hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan Penindakan
pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.[3]
Kewenangan
kepolisian dalam melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yang
berupa penyitaan kendaraan bermotor harus didasari oleh alasan yang tepat dan
benar secara hukum. Penyitaan barang bukti tersebut dilaksanakan dalam rangka
untuk proses penyelidikan atau penyidikan yang bertujuan untuk membuktikan
suatu pelanggaran lalu lintas dan menentukan pelakunya. Kewenangan penyitaan
ini harus dilaksanakan secara tepat dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, serta prosedur penyitaan yang ditetapkan oleh kepolisian.
Kasus kecelakan kendaraan yang bisa disebut mobil dalam lalu lintas jalan
sering terjadi di Indonesia, namun banyak kasus kecelakan lalu lintas yang
tidak dilaporkan ke Kepolisian, kerena ada ketidak seimbangan antara aturan
penyitaan barang bukti dengan kenyataan dilapangan, yang mana ada beberapa
masyarakat yang mengalami kecelakaan mobil tidak melaporkannya ke kepolisian
dengan alasan tidak mau barang bukti yang berupa Sim, Stnk, dan barang itu
sendiri yaitu mobil disita oleh pihak kepolisian. Pada dasarnya jika ada orang
mengalami kecelakaan itu harus melaporkannya kepada Polisi yang kemudian
kasusnya akan ditindak lanjuti dan akan dilakukan penyitaan barang bukti. Penyitaan
barang bukti itu sudah diatur dalam KUHAP bagian ke 4 Pasal 38 sampai Pasal 46
yang mana penulis nantinya akan menganilis apakah dalam melakuknan penyitaan
barang bukti itu penyidik melakukannya sesuai dengan KUHAP atau tidak, dan
apakah perlu adanya pembaharuan KUHAP guna mengkhususkan aturan penyitaan
barang bukti tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah
pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam melakukan suatu tindakan penyitaan
terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan
raya?
b. Apakah faktor
penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu
lintas yang sering terjadi di jalan raya?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apakah kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan barang itu
sesuai dengan KUHAP apakah melenceng dari aturan yang telah ada.
2.
Untuk
mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisisan dalam
menindak lanjuti pelanggaran lalu lintas.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kerangka Teori
Dalam pasal 1 butir 1 KUHAP dinyatakan :
“Bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi Negara atau pejabat
pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan”. Berdasarkan pasal 1 butir 1 KUHAP diatas, lebih
lanjut diatur dalam peraturan pemerintah NO. 27 TAHUN 1983 mengenai kewenangan
pejabat penyidik. Sedangkan tentang syarat-syarat seorang penyidik dapat
dilihat pada Pasal 2 PP NO. 27 TAHUN 1983 yang menetapkan syarat kepangkatan
dan pengangkatan penyidik sebagai berikut :
1.
Polisi
Negara R.I yangberpangkat sekurang-kurangnya AJUN INSPEKTUR POLISI 2
(AIBDA).
2.
Apabila
di suatu sektor kepolisian tindak ada pejabat penyidik maka komandan sektor
kepoloisian yang berpangkat bintara dibawah AJUN INSPEKTUR POLISI 2 (AIBDA)
karma jabatannya dalah sebagai penyidik.
3.
Penyidik
plisi Negara ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( KAPOLRI),
wewenang penunjukan tersebut dapat dilimpahkan kepada penjabat kepolisian lain.[4]
Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak
berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Kewenangan
adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau institusi
menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut
kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaidah- kaidah formal,
sehingga kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau
institusi negara.[5]
Terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu sebagai berikut:
a.
Sumber atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau
lembaga/pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk undang-undang.
b.
Sumber delegasi, yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenanangan dari
badan/lembaga Pejabat Tata Usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab
beralih pada penerima delegasi.
c.
Sumber mandat, yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih
dipegang oleh si pemberi mandat.
Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP,
yaitu “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.” Oleh karena
Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang
dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP,
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat
dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian wajib segera dilaporkan ke Ketua
Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.[6]
Ansori Sabuan Mengatakan Barang Bukti adalah Barang yang dipergunakan oleh
terdakwan untuk melakukan suati tindak pidana atau barang sebagai hasil dari
suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyidik untuk dijadikan
sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang ini kemudian diberi nomor sesuai
dengan nomor perkaranya, disegel dan hanya dapat dibuka oleh hakim pada sidang
waktu pengadilan.[7]
Menurut Simorangkir Barang Bukti adalah Benda yang digunakan untuk
memperoleh hal-hal yang benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa
terhadap perkara pidana yang dituduhkan, benda-benda ini adalah kepunyaan
terdakwa, barang-barang yang diperoleh terdakwa dengan kejahatan atau barang
yang digunakan untuk melakukan kejahatan.[8]
Menurut Pasal 39 KUHAP,
benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak
pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyelidikan tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
Fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
1.
Menguatkan
kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang
ditangani;
3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka
barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang
didakwakan JPU.
2.2 Dasar Hukum Penyitaan Barang Bukti
Hukum Acara Pidana yang sekarang
ini berlaku di Indonesia, dihimpun dalam suatu undang-undang yang diundangkan
di tahun 1981, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
disingkat: KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal
tersebut telah ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.
Penyitaan barang bukti juga diatur dalam KUHAP bagian ke 4 Pasal 38
sampai Pasal 46. Yang mana akan diuraikan dibawah ini Pasal-Pasal yang sesuai
dengan tema permasalahan penerapan KUHAP dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia.
Pasal 38
(1) Penyitaan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(2) Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan
negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 44
(1) Benda
sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan
benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk
dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas
rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai
putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum
tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi,
sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil
tindakan sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum,
benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau
penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim
yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka
yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan
dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti
atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan
suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam
putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk
negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan
BAB
III
ANALISA
Pasal 46 KUHAP telah mengatur bahwa ayat (1) Benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu
disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.
kepentingan
penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.
perkara
tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c.
perkara
tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup
demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dan ayat (2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut
dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas
untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan
Penulis
selanjutnya akan menjelaskan uraian kronologi kasus agar pembaca paham apa yang
dimaksud dan diinginkan penulis. Misalnya kasus seperti ini:
Ø A adalah sebagai korban yang pekerjaannya Pengacara = A sedang
melakukan perjalan menuju Pantai Balekambang dengan menggunakan mobil avanza.
Ø B adalah sebagai tersangka = pengguna motor yang berada di belakang
mobil avanza milik si A.
Ø Tiba-tiba saja B ini menabrak mobil A sehingga mobil A ini dapat
dikategorikan rusak.
Ø A tahu hal yang dia alami ini merupakan tindak pidana yang memang
seharusnya dilaporkan kepada polisi.
Ø A juga tahu jika dia melaporkannya ke polisi maka mobilnya pasti
akan disita sebagai barang bukti, jika si A membutuhkan mobilnya maka dia harus
mendapatkan surat peminjaman barang bukti yang dibuat oleh penyidik, dimana dia
harus membayar mahal kepada polisi itu, barang bukti yang disita oleh penyidik dalam
KUHAP di sebutkan bahwa barang bukti tersebut tidak dapat diambil oleh
pemilikna jika putusan pengadilan belum incracht, sedangkan si A setiap
minggu harus pergi ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan
menggunakan mobil avanza, jika mobil avanza tersebut disita pasti si A akan
kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang mengharuskan dia pergi keluar kota
setiap minggu. Akhirnya si A hanya meminta ganti rugi kepada si B.
Ø Disinilah timbul adanya ketidak sesuaian aturan yang ada di KUHAP
dengan fakta yang ada dilapangan.
Sesuai dengan kasus dan dasar hukum yang telah disebutkan diatas
dapat dikatakan bahwa pada intinya barang bukti itu harus disita oleh
penyidik/pihak kepolisian untuk dijadikan sebagai alak bukti di pengadilan.
Dalam kasus ini penulis mengangkat permasalahan penerapan KUHAP dengan fakta
yang ada lapangan. Dimana barang bukti yang seharusnya disita dan tidak
diperbolehkan diambil oleh pemiliknya, penyidik memperbolehkan barang bukti
tersebut diambil oleh pemiliknya dengan dikeluarkannya surat yang disebut
dengan “surat peminjaman barang bukti”, saat surat peminjaman barang bukti
tersebut turun maka pemilik barang bukti yang disita itu harus membayar dengan
sejumlah uang, masalah seperti ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam fakta
dilapangan hal seperti ini sering terjadi sehingga eksistensi KUHAP seperti
disalah gunakan oleh para penyidik.
Dapat disimpulkan bahwa KUHAP perlu adanya pembaharuan untuk
memperbaiki penerapan KUHAP dalam sistem peradilan pidana, agar barang bukti
tesebut memang harus ada ditangan penyidik selama persidangan belum tuntas.
Pembaharuan KUHAP bisa di lakukan dengan cara menambahkan Pasal yang ada di
KUHAP:
1. Barang bukti yang dilakukan penyitaan tidak boleh dikembalikan
kepada pemiliknya selama persidangan belum selesai.
2. Jika ditemukannya dalam persidangan ada barang bukti yang tidak ada
maka persidangan tidak dapat dilanjutkan.
3. Pihak penyidik diharapkan kerjasamanya agar tidak mengeluarkan
surat peminjaman barang bukti kepada pemilik barang bukti.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Barang bukti yang disita oleh penyidik/pihak kepolisian untuk
dijadikan sebagai alak bukti di pengadilan itu tidak diperbolehkan diambil oleh
pemiliknya, namun penyidik memperbolehkan barang bukti tersebut diambil oleh
pemiliknya dengan dikeluarkannya surat yang disebut dengan “surat peminjaman
barang bukti” yang mana ini merupakan kewenangan polisi/penyidik dalam
melaksanakan tugasnya.
2. Faktor yang menghambat kewenangan polisi dalam melaksanakan
tugasnya dalam melakukan penyitaan barang bukti tersebut adalah karena faktor
dari pihak polisi itu sendiri yang memperbolehkan barang bukti diambil oleh
pemiliknya dengan diturunkannya surat peminjaman barang bukti sehingga
masyarakat enggan melaporkan tindak pidana kecelakaan dimana akan merugikan
pelapor itu sendiri.
B.
Saran
1.
Perlunya
pembaharuan pasal-pasal yang ada di KUHAP
2.
Perlunya
kerjasama yang baik antara Polisi dan masyarakat agar terjaminnya hak
masyarakat terutama dalam rasa aman dan adil untuk dilindungi oleh polisi
DAFTAR PUSTAKA
Suwardjoko, Warpani. Perencanaan Lalu
Lintas dan Tata Kota. (Bandung: IPB, 2005), Hlm. 135
Nurmayani. Hukum Administrasi Daerah. (Bandar Lampung: Universitas Lampung,
2009).
http://www.suduthukum.com/2016/03/tugas-dan-wewenang-penyidik.html
[1] Suwardjoko,
Warpani. Perencanaan Lalu Lintas dan Tata Kota. (Bandung:
IPB, 2005), Hlm. 135
[2]
http://www.htmlpublish.com/convert-pdf-to-html/success.aspx?zip=DocStorage/fc40bab18f8146159e15de4d247e2c84/BAB%20I.zip&app=pdf2word
[3] Ibid.
[4]
http://www.suduthukum.com/2016/03/tugas-dan-wewenang-penyidik.html
[5] Nurmayani. Hukum Administrasi Daerah.
(Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009).
[6]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5190a6861fe04/masalah-penyitaan-dan-benda-sitaan
[7]
http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-barang-bukti.html
[8] Ibid.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....