Jumat, 05 Mei 2017

MAKALAH TENTANG PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS



MAKALAH TENTANG
PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS






Disusun oleh:
Nama          : Vivi Gustin Liyawati

 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Salah satu persoalan yang sering dihadapi oleh kota-kota besar adalah lalu lintas. Persoalan yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain adalah kemacetan, kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas. Persoalan-persoalan  ini disebabkan banyaknya mobil dan motor yang berada dijalan raya. Perkembangan lalu lintas sendiri itu memberi pengaruh baik dan pengaruh buruk kepada masyarakat. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor yang mana tidak hanya dilakukan oleh pengemudi kendaraan yang buruk, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kerusakan kendaraan, dan bisa juga karena kurangnya kesadaran akan rambu-rambu lalu lintas.
Lalu lintas dan pemakai jalan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan pengguna jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur. Pembinaan di bidang lalu lintas jalan yang meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan lalu lintas harus ditujukan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas jalan.[1]
Kepolisian Negara Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Polri) untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dengan demikian Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.[2]
Salah satu peran polisi lalu lintas adalah penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum bidang lalu lintas adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma- norma hukum di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan meliputi: Penyidikan perkara kecelakaan lalu lintas; dan Penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.[3]
Kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan barang bukti pelanggaran lalu lintas yang berupa penyitaan kendaraan bermotor harus didasari oleh alasan yang tepat dan benar secara hukum. Penyitaan barang bukti tersebut dilaksanakan dalam rangka untuk proses penyelidikan atau penyidikan yang bertujuan untuk membuktikan suatu pelanggaran lalu lintas dan menentukan pelakunya. Kewenangan penyitaan ini harus dilaksanakan secara tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta prosedur penyitaan yang ditetapkan oleh kepolisian. Kasus kecelakan kendaraan yang bisa disebut mobil dalam lalu lintas jalan sering terjadi di Indonesia, namun banyak kasus kecelakan lalu lintas yang tidak dilaporkan ke Kepolisian, kerena ada ketidak seimbangan antara aturan penyitaan barang bukti dengan kenyataan dilapangan, yang mana ada beberapa masyarakat yang mengalami kecelakaan mobil tidak melaporkannya ke kepolisian dengan alasan tidak mau barang bukti yang berupa Sim, Stnk, dan barang itu sendiri yaitu mobil disita oleh pihak kepolisian. Pada dasarnya jika ada orang mengalami kecelakaan itu harus melaporkannya kepada Polisi yang kemudian kasusnya akan ditindak lanjuti dan akan dilakukan penyitaan barang bukti. Penyitaan barang bukti itu sudah diatur dalam KUHAP bagian ke 4 Pasal 38 sampai Pasal 46 yang mana penulis nantinya akan menganilis apakah dalam melakuknan penyitaan barang bukti itu penyidik melakukannya sesuai dengan KUHAP atau tidak, dan apakah perlu adanya pembaharuan KUHAP guna mengkhususkan aturan penyitaan barang bukti tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam melakukan suatu tindakan penyitaan terhadap barang bukti pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya?
b.      Apakah faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisian dalam penindakan pelanggaran lalu lintas yang sering terjadi di jalan raya?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah kewenangan kepolisian dalam melakukan penyitaan barang itu sesuai dengan KUHAP apakah melenceng dari aturan yang telah ada.
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan kewenangan kepolisisan dalam menindak lanjuti pelanggaran lalu lintas.










BAB II
KAJIAN TEORI
2.1  Kerangka Teori
Dalam pasal 1 butir 1 KUHAP dinyatakan : “Bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi Negara atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Berdasarkan pasal 1 butir 1 KUHAP diatas, lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah NO. 27 TAHUN 1983 mengenai kewenangan pejabat penyidik. Sedangkan tentang syarat-syarat seorang penyidik dapat dilihat pada Pasal 2 PP NO. 27 TAHUN 1983 yang menetapkan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik sebagai berikut :
1.      Polisi Negara R.I yangberpangkat sekurang-kurangnya AJUN INSPEKTUR POLISI 2 (AIBDA). 
2.      Apabila di suatu sektor kepolisian tindak ada pejabat penyidik maka komandan sektor kepoloisian yang berpangkat bintara dibawah AJUN INSPEKTUR POLISI 2 (AIBDA) karma jabatannya dalah sebagai penyidik.
3.      Penyidik plisi Negara ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( KAPOLRI), wewenang penunjukan tersebut dapat dilimpahkan kepada penjabat kepolisian lain.[4]
Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Kewenangan adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki oleh pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaidah- kaidah formal, sehingga kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi negara.[5]
Terdapat 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu sebagai berikut:
a.       Sumber atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk undang-undang.
b.      Sumber delegasi, yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenanangan dari badan/lembaga Pejabat Tata Usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi.
c.       Sumber mandat, yaitu pelempahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandat.
Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.[6]
Ansori Sabuan Mengatakan Barang Bukti adalah Barang yang dipergunakan oleh terdakwan untuk melakukan suati tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang ini kemudian diberi nomor sesuai dengan nomor perkaranya, disegel dan hanya dapat dibuka oleh hakim pada sidang waktu pengadilan.[7]
Menurut Simorangkir Barang Bukti adalah Benda yang digunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan, benda-benda ini adalah kepunyaan terdakwa, barang-barang yang diperoleh terdakwa dengan kejahatan atau barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan.[8]
Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1.   Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;
2.   Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3.    Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4.    Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5.    Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
1.      Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
2.      Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
3.      Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.

2.2  Dasar Hukum Penyitaan Barang Bukti
Hukum Acara Pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia, dihimpun dalam suatu undang-undang yang diundangkan di tahun 1981, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan disingkat: KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal tersebut telah ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
1.   Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;          
2.   Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.
Penyitaan barang bukti juga diatur dalam KUHAP bagian ke 4 Pasal 38 sampai Pasal 46. Yang mana akan diuraikan dibawah ini Pasal-Pasal yang sesuai dengan tema permasalahan penerapan KUHAP dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pasal 38         
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.

Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.  kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan























BAB III
ANALISA
Pasal 46 KUHAP telah mengatur bahwa ayat (1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.       kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.      perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c.       perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dan ayat (2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan

Penulis selanjutnya akan menjelaskan uraian kronologi kasus agar pembaca paham apa yang dimaksud dan diinginkan penulis. Misalnya kasus seperti ini:
Ø  A adalah sebagai korban yang pekerjaannya Pengacara = A sedang melakukan perjalan menuju Pantai Balekambang dengan menggunakan mobil avanza.
Ø  B adalah sebagai tersangka = pengguna motor yang berada di belakang mobil avanza milik si A.
Ø  Tiba-tiba saja B ini menabrak mobil A sehingga mobil A ini dapat dikategorikan rusak.
Ø  A tahu hal yang dia alami ini merupakan tindak pidana yang memang seharusnya dilaporkan kepada polisi.
Ø  A juga tahu jika dia melaporkannya ke polisi maka mobilnya pasti akan disita sebagai barang bukti, jika si A membutuhkan mobilnya maka dia harus mendapatkan surat peminjaman barang bukti yang dibuat oleh penyidik, dimana dia harus membayar mahal kepada polisi itu, barang bukti yang disita oleh penyidik dalam KUHAP di sebutkan bahwa barang bukti tersebut tidak dapat diambil oleh pemilikna jika putusan pengadilan belum incracht, sedangkan si A setiap minggu harus pergi ke luar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan menggunakan mobil avanza, jika mobil avanza tersebut disita pasti si A akan kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang mengharuskan dia pergi keluar kota setiap minggu. Akhirnya si A hanya meminta ganti rugi kepada si B.
Ø  Disinilah timbul adanya ketidak sesuaian aturan yang ada di KUHAP dengan fakta yang ada dilapangan.

Sesuai dengan kasus dan dasar hukum yang telah disebutkan diatas dapat dikatakan bahwa pada intinya barang bukti itu harus disita oleh penyidik/pihak kepolisian untuk dijadikan sebagai alak bukti di pengadilan. Dalam kasus ini penulis mengangkat permasalahan penerapan KUHAP dengan fakta yang ada lapangan. Dimana barang bukti yang seharusnya disita dan tidak diperbolehkan diambil oleh pemiliknya, penyidik memperbolehkan barang bukti tersebut diambil oleh pemiliknya dengan dikeluarkannya surat yang disebut dengan “surat peminjaman barang bukti”, saat surat peminjaman barang bukti tersebut turun maka pemilik barang bukti yang disita itu harus membayar dengan sejumlah uang, masalah seperti ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam fakta dilapangan hal seperti ini sering terjadi sehingga eksistensi KUHAP seperti disalah gunakan oleh para penyidik.

Dapat disimpulkan bahwa KUHAP perlu adanya pembaharuan untuk memperbaiki penerapan KUHAP dalam sistem peradilan pidana, agar barang bukti tesebut memang harus ada ditangan penyidik selama persidangan belum tuntas. Pembaharuan KUHAP bisa di lakukan dengan cara menambahkan Pasal yang ada di KUHAP:
1.       Barang bukti yang dilakukan penyitaan tidak boleh dikembalikan kepada pemiliknya selama persidangan belum selesai.
2.       Jika ditemukannya dalam persidangan ada barang bukti yang tidak ada maka persidangan tidak dapat dilanjutkan.
3.       Pihak penyidik diharapkan kerjasamanya agar tidak mengeluarkan surat peminjaman barang bukti kepada pemilik barang bukti.















BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1.      Barang bukti yang disita oleh penyidik/pihak kepolisian untuk dijadikan sebagai alak bukti di pengadilan itu tidak diperbolehkan diambil oleh pemiliknya, namun penyidik memperbolehkan barang bukti tersebut diambil oleh pemiliknya dengan dikeluarkannya surat yang disebut dengan “surat peminjaman barang bukti” yang mana ini merupakan kewenangan polisi/penyidik dalam melaksanakan tugasnya.
2.      Faktor yang menghambat kewenangan polisi dalam melaksanakan tugasnya dalam melakukan penyitaan barang bukti tersebut adalah karena faktor dari pihak polisi itu sendiri yang memperbolehkan barang bukti diambil oleh pemiliknya dengan diturunkannya surat peminjaman barang bukti sehingga masyarakat enggan melaporkan tindak pidana kecelakaan dimana akan merugikan pelapor itu sendiri.

B.     Saran
1.      Perlunya pembaharuan pasal-pasal yang ada di KUHAP
2.      Perlunya kerjasama yang baik antara Polisi dan masyarakat agar terjaminnya hak masyarakat terutama dalam rasa aman dan adil untuk dilindungi oleh polisi















DAFTAR PUSTAKA
Suwardjoko, Warpani. Perencanaan Lalu Lintas dan Tata Kota. (Bandung: IPB, 2005), Hlm. 135


Nurmayani. Hukum Administrasi Daerah. (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009).



http://www.suduthukum.com/2016/03/tugas-dan-wewenang-penyidik.html


[1] Suwardjoko, Warpani. Perencanaan Lalu Lintas dan Tata Kota. (Bandung: IPB, 2005), Hlm. 135
[2] http://www.htmlpublish.com/convert-pdf-to-html/success.aspx?zip=DocStorage/fc40bab18f8146159e15de4d247e2c84/BAB%20I.zip&app=pdf2word
[3] Ibid.
[4] http://www.suduthukum.com/2016/03/tugas-dan-wewenang-penyidik.html
[5] Nurmayani. Hukum Administrasi Daerah. (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009).
[6] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5190a6861fe04/masalah-penyitaan-dan-benda-sitaan
[7] http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-barang-bukti.html
[8] Ibid.
 


 





1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus