Rabu, 22 Maret 2017

Hak dan Kewajiban Anak dan Orang Tua



MATERI KHI HUKUM PERKAWINAN
A.     Hak dan Kewajiban Anak dan Orang Tua
Ø  Hak Anak dan Orang Tua
Hak Anak:
1.       Mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya
2.      Mendapat penghargaan atas perbuatan baik yang dia lakukan
3.      Berhak mengatur hidupnya sendiri saat dewasa
4.      Mengatur barang yang dibelinya sendiri
5.      Mendapat pendidikan yang baik dari orangtaunya
6.      Meniru perbuatan orang tuanya
7.      Menengahi pertengkaran antara kedua orangtuanya
8.      Menegur jika orangtuanya berbuat salah
9.      Dipenuhi kebutuhannya
10.  Membantah perintah orang tua jika perintah itu buruk
11.   Mencari nafkah untuk orangtuanya maupun  yang lain

Hak Orang Tua:
1.      Memberi perintah kepada anaknya
2.      Mengontrol hidup anaknya
3.      Melarang sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh si anak
4.      Meninggikan suaranya, bahkan memarahi anaknya jika melakukan sesuatu yang buruk
5.      Mendapat kasih sayang dari anaknya
6.      Dipatuhi perintahnya oleh si anak
7.      Berhak menolak keinginan si anak jika keinginan itu buruk dan tidak bisa dipenuhi
8.      Mendapat perlakuan yang layak dari si anak
9.      Mengingatkan dan menasihati si anak jika berbuat salah
10.  Memberikan konsekuensi jika si anak berbuat salah
11.  Mendapat kewenangan penuh di rumah (kamar anak hanya mengontrol saja)
12.   Mencarikan pendamping hidup untuk si anak, atau teman.[1]

Ø  Kewajiban Anak dan Orang Tua
Kewajiban Anak:
1.      Mentaati orang tua dalam kebaikan.
2.      Menjaga dan memelihara orang tua dengan sabar terutama di masa tua
3.      Jangan bekata kasar atau membentak orang tua
4.      Dilarang mengangkat suara kepada orang tua.
5.      Menghargai dan menghormatinya dalam setiap keadaan
6.      Anak seharusnya bermusyawarahdengan orangtuanya  ketika ingin  mengambil keputusan. 
7.      Meninggikan orang tua di hadapan orang lain
8.      Berdoa dan memintakan ampun kepada Allah
9.      Tidak bepergian kecuali minta izin kepada orangtuanya, termasuk pergi jihad
10.  Berbuat hal- hal yang membuat senang orang tua
11.  Tidak  menganggu orang tua saat orang tua istirahat /tidur
12.  Tidak boleh mengutamakan istri dibanding orangtua
13.  Mengalah kepada orang tua pada hal yang kita senangi (harta,pakaian, makanan)
14.  Cepat memenuhi panggilan orang tua.

Kewajiban Orang Tua:
1.      Berdoa sebelum bercampur dengan istri, sehingga jika Allah takdirkan dari pencampuran tadi, si istri hamil, maka anaknya menjadi anak yang soleh.
2.      Mengikuti sunnah rosulullah dalam menyambut kelahiran anak
3.      Tinggal di lingkungan yang islami
4.      Memberi nama yang baik
5.      Ibu hendaknya Menyusui anaknya
6.      Mengasuh dan membimbing anak (bukan diasuh oleh pembantu)
7.      Mengkhitan si anak
8.      Mengajari alquran, sholat,puasa, adab dan etika
9.      Mengajari anak naik kuda, berenang dan memanah (Hadis rasulullah)
10.  Memberi nafkah dari rezeki yang halal sampai si anak mandiri atau menikah (Ibu tidak diwajibkan)
11.  Memilihkan teman yang baik
12.  Berbuat adil kepada semua anak anaknya
13.  Menjadi contoh yang baik bagi anaknya
14.  Mencarikan pendamping hidup yang sholeh bagi anaknya.[2]

B.     Pengertian dan Sebab Perceraian
Ø  PengertianPerceraian
Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat cerai adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan negara.Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia dihindari. Namun Islam memberi jalan keluar apabila ia dapat menjadi jalan atau solusi terbaik bagi keduanya.[3]
Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkanatau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang.Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.[4]
Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:
الطلاق : حل الو ثاقمشتق من الاطلاق وهو الارسالوالترك
“Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ithlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”.[5]

Ø  Sebab Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1.      Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena 1) Kematian; 2) Perceraian, dan 3) Atas putusan pengadilan.
2.      Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
3.      Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.[6]

Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.      Suami melanggar taklik talak.
8.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[7]

C.     Tata Cara dan Akibat Hukum Perceraian
Ø  Tata Cara Perceraian
a.         Cerai talak (permohonan)
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh Pengadilan, yang dalam Pasal 68 undang-undang perkawinan yang menjelaskan bahwa :
1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
2. Pemeriksaan permohonan cerai talak, dilakukan dalam sidang tertutup.
Pada rumusan Pasal 15 PP Nomor 9 Tahun 1975, dinyatakan:
“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pegirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu”.

Langkah berikutnya, diatur dalam UUPA Pasal 70 sebagaimana dirinci dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak, tidak mungkin lagi didamaikan, dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), isteri dapat mengajukan banding.
3. Setelah penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap, pengadilan menentuka hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
4. Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
5. Apabila isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya dapat mengucapkan talak tanpa dihadiri isteri atau wakilnya.
6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian dapat diajukan kembali berdasarkan alasan yang sama.
Selanjutnya diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975, dirumuskan sebagai berikut:
“Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yangg dimaksud pada pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut.Surat itu dikirim kepada pegawai pencatat ditempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian”.[8]



b. Cerai gugat
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq (pertengkaran), maka untuk menetapkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang terdekat.Selama gugatan perceraian berlangsung, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah, atas permohonan penggugat dan tergugat.
Proses pemeriksaan cerai gugat hampir sama dengan proses pemeriksaan cerai talak yang diatur dalam Pasal 20-Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975, yang mengacu pada Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 80 ayat 1 jo. Pasal 141 KHI, sedangkan ayat 2 dan 3 menjelaskan soal teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran para pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat.
Berdasarkan ajaran Islam, isteri mempunyai hak untuk meminta talak yaitu pertama, talak tafwid yaitu talak yang diberikan suami kepada isterinya berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh keduanya, dan apabila syarat-syarat yang mereka tentukan terjadi maka isteri, mempunyai hak untuk meminta talak dan terjadilah perceraian. Kedua, talak taklik yaitu pada waktu diadakan akad nikah, suami mengucapkan syarat-syarat yang dapat dijadikan alasan isteri untuk meminta hakim menjatuhkan talak kepadanya, jika dalam perjalanan rumah tangga ternyata suami melanggar syarat-syarat yang telah disepakati sebelum menikah, maka isteri dapat meminta talak.[9]

Ø  Akibat Hukum Perceraian
Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.[10]

Terhadap Hubungan Suami-Istri
Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga.Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan.
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a).Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b).serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.[11]



Terhadap Anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah erjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir.Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami.Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.
Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak.Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.[12]

Terhadap Harta Bersama
Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian :
1.      Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
2.      Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3.      Atau hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing.Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.[13]



[1]http://ahmadalirezha.blogspot.co.id/2012/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html
[2] Ibid.
[3]http://malapratiwi26.blogspot.co.id/2013/09/perceraian-dalam-islam.html
[4]Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),
hlm. 80
[5]Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung : Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3, 
hlm. 168
[6]http://www.negarahukum.com/hukum/putusnya-perkawinan-akibat-cerai-talak-dalam-prespektif-hukum-islam-dan-hukum-positif.html
[7] Ibid.
[8]http://dirydody.blogspot.co.id/2012/12/akibat-hukum-dari-perceraian.html
[9]http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/tata-cara-perceraian.html
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid.
[13] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, April 1999), hal. 2, mengutip Prof. Dr. Hazairin., S. H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hal. 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar