MATERI KHI HUKUM PERKAWINAN
A.
Hak dan Kewajiban Anak dan Orang Tua
Ø Hak
Anak dan Orang Tua
Hak Anak:
1.
Mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya
3.
Berhak mengatur hidupnya sendiri
saat dewasa
4.
Mengatur barang yang dibelinya
sendiri
5.
Mendapat pendidikan yang baik dari
orangtaunya
6.
Meniru perbuatan orang tuanya
7.
Menengahi pertengkaran antara kedua
orangtuanya
8.
Menegur jika orangtuanya berbuat
salah
9.
Dipenuhi kebutuhannya
10.
Membantah perintah orang tua jika
perintah itu buruk
11.
Mencari nafkah untuk
orangtuanya maupun yang lain
Hak Orang Tua:
1.
Memberi perintah kepada anaknya
2.
Mengontrol hidup anaknya
3.
Melarang sesuatu yang tidak pantas
dilakukan oleh si anak
4.
Meninggikan suaranya, bahkan
memarahi anaknya jika melakukan sesuatu yang buruk
5.
Mendapat kasih sayang dari anaknya
6.
Dipatuhi perintahnya oleh si anak
7.
Berhak menolak keinginan si anak
jika keinginan itu buruk dan tidak bisa dipenuhi
8.
Mendapat perlakuan yang layak dari
si anak
9.
Mengingatkan dan menasihati si anak
jika berbuat salah
10.
Memberikan konsekuensi jika si anak
berbuat salah
11.
Mendapat kewenangan penuh di rumah
(kamar anak hanya mengontrol saja)
12.
Mencarikan pendamping hidup
untuk si anak, atau teman.[1]
Ø Kewajiban
Anak dan Orang Tua
Kewajiban Anak:
1.
Mentaati orang tua dalam kebaikan.
2.
Menjaga dan memelihara orang tua
dengan sabar terutama di masa tua
3.
Jangan bekata kasar atau membentak
orang tua
4.
Dilarang mengangkat suara kepada
orang tua.
5.
Menghargai dan menghormatinya dalam
setiap keadaan
6.
Anak seharusnya bermusyawarahdengan
orangtuanya ketika ingin mengambil keputusan.
7.
Meninggikan orang tua di hadapan
orang lain
8.
Berdoa dan memintakan ampun kepada
Allah
9.
Tidak bepergian kecuali minta izin
kepada orangtuanya, termasuk pergi jihad
10.
Berbuat hal- hal yang membuat senang
orang tua
11.
Tidak menganggu orang tua saat
orang tua istirahat /tidur
12.
Tidak boleh mengutamakan istri
dibanding orangtua
13.
Mengalah kepada orang tua pada hal
yang kita senangi (harta,pakaian, makanan)
14.
Cepat memenuhi panggilan orang tua.
Kewajiban
Orang Tua:
1.
Berdoa sebelum bercampur dengan
istri, sehingga jika Allah takdirkan dari pencampuran tadi, si istri hamil,
maka anaknya menjadi anak yang soleh.
2.
Mengikuti sunnah rosulullah dalam
menyambut kelahiran anak
3.
Tinggal di lingkungan yang islami
4.
Memberi nama yang baik
5.
Ibu hendaknya Menyusui anaknya
6.
Mengasuh dan membimbing anak (bukan
diasuh oleh pembantu)
7.
Mengkhitan si anak
8.
Mengajari alquran, sholat,puasa,
adab dan etika
9.
Mengajari anak naik kuda, berenang
dan memanah (Hadis rasulullah)
10.
Memberi nafkah dari rezeki yang
halal sampai si anak mandiri atau menikah (Ibu tidak diwajibkan)
11.
Memilihkan teman yang baik
12.
Berbuat adil kepada semua anak
anaknya
13.
Menjadi contoh yang baik bagi
anaknya
14.
Mencarikan pendamping hidup yang
sholeh bagi anaknya.[2]
B.
Pengertian dan Sebab Perceraian
Ø PengertianPerceraian
Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat
cerai adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau
perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan
negara.Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial
yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan. Oleh karena
itu, sebisa mungkin ia dihindari. Namun Islam memberi jalan keluar apabila ia
dapat menjadi jalan atau solusi terbaik bagi keduanya.[3]
Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang
berarti melepaskan atau menanggalkanatau secara harfiah berarti membebaskan seekor
binatang.Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam
mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian jika
terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat
dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.[4]
Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:
الطلاق : حل الو ثاقمشتق من الاطلاق
وهو الارسالوالترك
“Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil
dari kata ithlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”.[5]
Ø Sebab
Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1. Pasal
113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena 1) Kematian; 2) Perceraian,
dan 3) Atas putusan pengadilan.
2. Pasal
115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
3. Pasal
114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.[6]
Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal
116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:
1. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
5. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6. Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami
melanggar taklik talak.
8. Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.[7]
C.
Tata Cara dan Akibat Hukum Perceraian
Ø Tata
Cara Perceraian
a. Cerai
talak (permohonan)
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Langkah berikutnya adalah
pemeriksaan oleh Pengadilan, yang dalam Pasal 68 undang-undang perkawinan yang
menjelaskan bahwa :
1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh
majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
2. Pemeriksaan permohonan cerai talak, dilakukan
dalam sidang tertutup.
Pada rumusan Pasal 15 PP Nomor 9 Tahun 1975,
dinyatakan:
“Pengadilan yang
bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pegirim surat dan juga
isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan maksud perceraian itu”.
Langkah berikutnya, diatur dalam
UUPA Pasal 70 sebagaimana dirinci dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak,
tidak mungkin lagi didamaikan, dan telah cukup alasan perceraian maka
pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1), isteri dapat mengajukan banding.
3. Setelah penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, pengadilan menentuka hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
4. Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa
khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan
ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
5. Apabila isteri telah mendapat panggilan secara sah dan
patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya
dapat mengucapkan talak tanpa dihadiri isteri atau wakilnya.
6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkannya hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan
patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian dapat diajukan
kembali berdasarkan alasan yang sama.
Selanjutnya
diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975, dirumuskan sebagai berikut:
“Sesaat setelah
dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yangg dimaksud pada
pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut.Surat itu dikirim kepada pegawai pencatat ditempat
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian”.[8]
b.
Cerai gugat
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan syiqaq (pertengkaran), maka untuk menetapkan putusan
perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang terdekat.Selama gugatan perceraian berlangsung, pengadilan
dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah, atas
permohonan penggugat dan tergugat.
Proses pemeriksaan cerai gugat
hampir sama dengan proses pemeriksaan cerai talak yang diatur dalam Pasal
20-Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975, yang mengacu pada Undang-Undang Perkawinan
pada Pasal 80 ayat 1 jo. Pasal 141 KHI, sedangkan ayat 2 dan 3 menjelaskan soal
teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran para pihak yang berperkara baik penggugat
maupun tergugat.
Berdasarkan ajaran Islam, isteri
mempunyai hak untuk meminta talak yaitu pertama, talak tafwid yaitu talak yang
diberikan suami kepada isterinya berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh keduanya, dan apabila syarat-syarat yang mereka tentukan terjadi
maka isteri, mempunyai hak untuk meminta talak dan terjadilah perceraian.
Kedua, talak taklik yaitu pada waktu diadakan akad nikah, suami mengucapkan
syarat-syarat yang dapat dijadikan alasan isteri untuk meminta hakim
menjatuhkan talak kepadanya, jika dalam perjalanan rumah tangga ternyata suami
melanggar syarat-syarat yang telah disepakati sebelum menikah, maka isteri
dapat meminta talak.[9]
Ø Akibat
Hukum Perceraian
Seperti yang terdapat di dalam Pasal
41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena
perceraian adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana
bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari
putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam
Undang-undang Perkawinan.[10]
Terhadap Hubungan Suami-Istri
Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian
suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi
suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam
sebuah rumah tangga.Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya
hubungan perkawinan.
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh
melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir,
yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh)
hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a).Apabila perkawinan putus karena perceraian,
waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf
b).serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi
istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal
39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu
sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan
akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena
laki-laki tidak mempunyai masa iddah.[11]
Terhadap Anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah erjadi
perceraian, bukan berarti kewajiban suami istri sebagai ayah dan ibu terhadap
anak di bawah umur berakhir.Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib
membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan
keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami.Kewajiban
memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut
baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.
Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak.Suami dan
istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak-anaknya.Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa
ibu yang memikul biaya anak-anak.[12]
Terhadap Harta Bersama
Pasal
37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian :
1. Dilakukan
berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup
dalam mengatur tata cara perceraian;
2. Aturan
pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3. Atau
hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari
suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing.Apabila bekas suami
atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat
digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut
dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama
karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam,
sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.[13]
[1]http://ahmadalirezha.blogspot.co.id/2012/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html
[2] Ibid.
[3]http://malapratiwi26.blogspot.co.id/2013/09/perceraian-dalam-islam.html
[4]Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta
: Rineka Cipta, 1996),
hlm. 80
hlm. 80
[6]http://www.negarahukum.com/hukum/putusnya-perkawinan-akibat-cerai-talak-dalam-prespektif-hukum-islam-dan-hukum-positif.html
[7] Ibid.
[8]http://dirydody.blogspot.co.id/2012/12/akibat-hukum-dari-perceraian.html
[9]http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/tata-cara-perceraian.html
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid.
[13] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis
Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
Cet. 2, (Jakarta: Bumi Aksara, April 1999), hal.
2, mengutip Prof. Dr. Hazairin., S. H., Hukum
Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hal. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar