A.Pengertian
Hukum Acara Pengadilan Agama
Dalam bukunya Mukti Arto, Hukum Acara
Pengadilan Agama ialah peraturan hokum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya
hokum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di
muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hokum itu
berjalan sebagaimana mestinya.[1]
B. Asas-Asas
Hukum Acara Pengadilan Agama
1.
Asas Bebas
Merdeka
Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas
kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah
merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini
menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di
dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang
datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan
undang-undang.”[2]
2.
Asas Sebagai Pelaksana
Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan
ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.[3]
3.
Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber
hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai
dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”[4]
4.
Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3)
UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua
pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang
dihadapi para pihak tersebut.[5]
5.
Asas Non Ekstra
Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud akan dipidana.[6]
6.
Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama.[7]
D. Sumber Hukum Acara Pengadilan Agama
1) UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004
Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan
kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan
perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan
kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta
panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan,
pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian
dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan
peralihan.[8]
2) UU No. 1 tahun 1974
Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta
akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,
perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan
penutup.[9]
[1]
Ahmad Taufiq Labera, Pengertian Hukum Acara Pengadilan Agama, http://taufiqlabera.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[2]
Isybah Nurhikam, Asas Hukum Acara Pengadilan Agama, http://satriabajahikam.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[5] Ali
Abraham, Asas Hukum Acara Pengadilan Agama, http://aliranim.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Ilham, Sumber Hukum Acara Pengadilan Agama, http://ilham-irwansyah.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[9]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar