Senin, 14 Desember 2015

Bidang/lapangan Hukum Acara Perdata



A.Pengertian Hukum Acara Perdata
            Hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dalam praktik. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa hak perdatanya dilanggar,
tidak boleh diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tapi ia dapat menyampaikan perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya, agar memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya.[1]

B.Asas-Asas Hukum Acara Pedata
1.      Hakim Bersifat Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.
2.      Hakim Pasif : hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
3.      Sifat Terbukanya Persidangan : sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hukum.
4.      Mendengar Kedua Belah Pihak : dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
5.      Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
6.      Beracara di Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
7.      Tidak ada keharusan mewakilkan : pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan.[2]


D. Sumber Hukum Acara Perdata
1.      HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputra dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.
2.      RBg (reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en madura) reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura dengan Staatsblad 1927 Nomor 227.
3.      Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor 63.
4.      RO ( reglement of de rechterlijke organisatie  in het beleid der justitie in Indonesia / reglement tentang organisasi Kehakiman dengan Staatblad 1847 NOmor 23).
5.      Ordonansi dengan Staatblad 1867 Nomor 29 tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan bukti, surat-surat di bawah Tangan yang diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau oleh yang disamakan dengan dia.
6.      BW (burgerlijk wetboek / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) yang dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa, Tiong Hoa, dengan beberapa pengecualiaannya yang dimuat dalam LN No. 129 Tahun 1917 dan golongan Timur Asing lain dari Tiong Hoa dan beberapa pengecualiaannya dan penjelasan sabagaimana dimuat dalam LN Nomor. 556 Tahun 1924).
7.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) buku ke satu LN RI Nomor 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku ke dua LN Nomor 49 Tahun 1933.
8.      UU No. 20 Tahun 1947 tentang ketentuan Banding (Peradilan Ulangan) untuk daerah Jawa dan Madura yang di tetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden RI Ir. Soekarno.
9.      UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LN No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
10.  UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT)
11.  UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LN No. 157 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009.
12.   UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No. 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret 1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
13.  UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 73 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 yang dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004.
14.  UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan   Kewajiban Utang. LN No. 131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004.
15.  UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
16.  UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
17.  UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 77 Tahun 1986 yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
18.  UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. LN No. 98 Tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003.
19.  UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
20.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung.
21.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan.
22.  SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani Perkara.
23.  Yurisprudensi.[3]






[1] Hendri Tovan, Pengertian Hukum Acara Perdata, http://vanthehen.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[2] PROF.DR. Sudikno Mertokusumo, SH, Asas Hukum Acara Perdata, https://catatanhukumaaz.wordpress.com, accses 22 November 2015
[3] Bams Joiz, Sumber Hukum Acara Perdata, http://hukuum.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar