A.Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah hukum yang
berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dalam praktik. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa hak
perdatanya dilanggar,
tidak boleh diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting),
tapi ia dapat menyampaikan perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan
tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya, agar
memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya.[1]
B.Asas-Asas Hukum Acara Pedata
1.
Hakim
Bersifat Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu
datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau
penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah
suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di
serahkan kepada pihak yang berkepentingan.
2.
Hakim
Pasif : hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti
kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim
untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan
bukan oleh hakim.
3.
Sifat
Terbukanya Persidangan : sidang
pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti
bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di
persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan
mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4
tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal
demi hukum.
4.
Mendengar
Kedua Belah Pihak : dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun
2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus
sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta
masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
5.
Putusan
Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan
pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk
mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg).
Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab
hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang
lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
6.
Beracara
di Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di
kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145
ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya
untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
7.
Tidak
ada keharusan mewakilkan : pasal 123 HIR,
147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak
yang langsung berkepentingan.[2]
D. Sumber Hukum Acara Perdata
1.
HIR (Het
Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa
Bumiputra dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan
dari Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor
44.
2.
RBg (reglement
tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en madura)
reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan
Madura dengan Staatsblad 1927 Nomor 227.
3.
Rv (reglement
op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan Staatsblad
1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor 63.
4.
RO ( reglement
of de rechterlijke organisatie in het beleid der justitie in Indonesia /
reglement tentang organisasi Kehakiman dengan Staatblad 1847 NOmor 23).
5.
Ordonansi
dengan Staatblad 1867 Nomor 29 tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan bukti,
surat-surat di bawah Tangan yang diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau
oleh yang disamakan dengan dia.
6.
BW (burgerlijk
wetboek / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Kitab Undang-Undang Hukum Sipil)
yang dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Di terjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa, Tiong Hoa,
dengan beberapa pengecualiaannya yang dimuat dalam LN No. 129 Tahun 1917 dan
golongan Timur Asing lain dari Tiong Hoa dan beberapa pengecualiaannya dan
penjelasan sabagaimana dimuat dalam LN Nomor. 556 Tahun 1924).
7.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) buku ke satu LN RI Nomor
276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku ke dua LN Nomor 49
Tahun 1933.
8.
UU No. 20 Tahun
1947 tentang ketentuan Banding (Peradilan Ulangan) untuk daerah Jawa dan Madura
yang di tetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden RI Ir.
Soekarno.
9.
UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan LN No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
10. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT)
11. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LN No. 157 Tahun
2009 tanggal 29 Oktober 2009.
12. UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No. 20 Tahun
1986 tanggal 8 Maret 1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No 34
Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
13. UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 73 Tahun 1985
tanggal 30 Desember 1985 yang dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 9 Tahun 2004
tanggal 15 Januari 2004.
14. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Utang. LN No. 131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004.
15. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
16. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
17. UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 77
Tahun 1986 yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 35 Tahun 2004
tanggal 29 Maret 2004.
18. UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. LN No. 98 Tahun
2003 tanggal 13 Agustus 2003.
19. UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung.
20. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung.
21. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan.
22. SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta
Merta (uit voerbaar bij voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad), SEMA
Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap
Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani Perkara.
23. Yurisprudensi.[3]
[1]
Hendri Tovan, Pengertian Hukum Acara Perdata, http://vanthehen.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[2] PROF.DR. Sudikno Mertokusumo, SH, Asas
Hukum Acara Perdata, https://catatanhukumaaz.wordpress.com, accses
22 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar