Pengertian
Hukum Islam
Hukum syara’ menurut ulama ushul
ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara
perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan
menurut ulama fiqih hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’
dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .[1]
B. Asas-Asas
Hukum Islam
1.
Asas-asas umum
a)
Asas keadilan.
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.
b)
Asas kepastian
hukum.
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c)
Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.[2]
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.[2]
2. Asas dalam lapangan hukum pidana.
a)
Asas legalitas.
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
b)
Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang
lain
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c)
Asas praduga tak bersalah.
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.[3]
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.[3]
3. Asas
dalam lapangan hukum perdata
a)
Asas kebolehan (mubah).
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.[4]
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.[4]
b)
Asas kemaslahatan hidup.
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.[5]
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.[5]
c)
Asas kebebasan dan kesukarelaan.
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.[6]
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.[6]
d)
Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat.
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.[7]
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.[7]
e)
Asas kebajikan.
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.[8]
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.[8]
f)
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat.
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.[9]
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.[9]
g)
Asas adil dan berimbang.
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.[10]
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.[10]
h)
Asas mendahulukan kewajiban
dari hak.
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.[11]
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.[11]
i)
Asas larangan merugikan diri
sendiri dan orang lain.
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.[12]
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.[12]
j)
Asas kemampuan berbuat atau
bertindak.
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.[13]
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.[13]
k)
Asas kebebasan berusaha.
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.[14]
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.[14]
l)
Asas mendapatkan sesuatu
karena usaha dan jasa.
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.[15]
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.[15]
m)
Asas perlindungan hak.
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.[16]
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.[16]
n)
Asas hak milik berfungsi
sosial.
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.[17]
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.[17]
o)
Asas yang beritikad baik
harus dilindungi.
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.[18]
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.[18]
p)
Asas resiko dibebankan pada
harta tidak pada pekerja.
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.[19]
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.[19]
q)
Asas mengatur dan memberi
petunjuk.
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam.[20]
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam.[20]
r)
Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.[21]
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.[21]
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
a)
Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
b)
Persetujuan
kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c)
Kebebasan
memilih
d)
Kemitraan
suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
e)
Untuk selama-lamanya
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
f)
Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.[22]
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.[22]
5. Asas-asas Hukum Kewarisan
a)
Asas
Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
b)
Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
c)
Asas
individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
d)
Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e)
Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.[23]
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.[23]
D.
Sumber-Sumber Hukum Islam
1.
Al
Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim
berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya
agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya.
2.
Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum
Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati
hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW
dalam haditsnya.
3.
Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan
suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits,
dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada
cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat
dijadikan sumber hukum yang ketiga. [24]
[1]
Blog Pendidikan Indonesia, Pengertian Hukum Islam, http://www.sarjanaku.com, accsess 22
November 2015
[3]
Ibid.
[4]
Nisrina Nada, Asas Hukum Islam Indonesia, http://nisrinada334.blogger.com,
accsess 22 November 2015
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Acyarizki Yanuar, Asas Menolak Mudharat, http://achyarizkiaryansyah.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Aprianti Rosita, Asas Adil dan Berimbang, http://apriantirosita29.wordpress.com,
accsess 22 November 2015
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Nabilah Ruliyanti, Asas Kemampuan Berbuat dan Bertindak, http://nabilahruliyanti.blogspot.com,
accsess 22 November 2015
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16] Dea
Arioktavia, Asas Perlindungan Hak, http://dearktv97.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19]
Tara Hasbeltia, Asas Resiko Dipertimbangak, http://tarahasbelita.blogger.co.id,
accsess 22 November 2015
[20]
Ibid.
[21]
Ibid.
[22]
Rozzaq Muzaqi, Asas Hukum Islam Indonesia, http://rozzaqmuzaki.blogspot.co.id,
accsess 22 November 2015
[23]
Ibid.
[24]
Bustamam Ismail, Sumber Hukum Islam Indonesia, https://hbis.wordpress.com,
accsess 22 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar