Senin, 14 Desember 2015

Bidang/lapangan Hukum Acara Pidana



1.Hukum Acara Pidana
             Adalah Hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga dapat memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Menurut Pramadyaa Puspa adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus di tegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan.[1]

2.Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1)      Asas Inquisitoir.
Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[2]

2)      Asas Legalitas.
Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada  suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.[3]

3)      Asas Accusatoir.
Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.[4]

4)      Asas Opportunitas.
Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.[5]

5)      Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai Penyidik.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.[6]

6)      Asas Personalitas Aktif.
Asas Personalitas merupakan asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[7]

7)      Asas Persamaan.
Asas Equality Before The Law, artinya setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.[8]

8)      Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang.
Artinya bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.[9]

9)      Asas Praduga Tak Bersalah.
Presumption of innocense artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[10]

10)  Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak.
Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[11]

11)  Sidang Terbuka Untuk Umum.
Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[12]

12)  Asas Adanya Bantuan Hukum.
Seseorang yang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.[13]

13)  Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[14]

14)  Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.[15]

15)  Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan.
Pangadilan dalam memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.[16]

16)  Pemberitahuan Apa yang Didakwakan.
Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.[17]

17)  Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap.
Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.[18]

D. Sumber Hukum Acara Pidana
1)      UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.[19]

2)      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).[20]

3)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.[21]

4)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.[22]

5)      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[23]
6)      Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.[24]

7)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.[25]

8)      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[26]
9)      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.[27]

10)  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[28]

11)  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.[29]

12)  Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.[30]

13)  Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.[31]

14)  Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan  Terhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
-         Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian  terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim[32]


[1] Ali Mustafa, Pengertian Hukum Acara Pidana, http://www.pengertianpakar.com, accsess 22 November 2015
[2] Dwi Oktarian, Asas Hukum Acara Pidana, http://ilmuhukumiain.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Erlanda Harviyata, Asas Hukum Acara Pidana, http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Bamz Jois, Asas Hukum Acara Pidana, http://hukuum.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Yosep Aliyin SH, Asas Hukum Acara Pidana, http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Djawara Putra Petir, Asas Dalam KUHP Acara Pidana, http://asasasasdaslamkuhap.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Naura Salsabila, Asas Hukum Acara Pidana, https://naurasalsabila.blogger.com, accsess 22 November 2015
[18] Ibid.
[19]Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet. III, 2009.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] H. Riduan Syahrani, SH, Buku Materi Dasar Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet.V, 2009.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Jupri S,H, Sumber Hukum Acara Pidana, http://www.negarahukum.com, accsess 22 November 2015
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Law Life, Sumber Hukum Acara Pidana, http://lawfile.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Izza Hasna Fuada, Sumber Hukum Acara Pidana, https://www.facebook.com/notes/izza-hasna-fuada, accses 22 November 2015
[32] Ibid.


1.Hukum Acara Pidana
             Adalah Hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga dapat memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Menurut Pramadyaa Puspa adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus di tegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan.[1]

2.Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1)      Asas Inquisitoir.
Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[2]

2)      Asas Legalitas.
Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada  suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.[3]

3)      Asas Accusatoir.
Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.[4]

4)      Asas Opportunitas.
Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.[5]

5)      Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai Penyidik.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.[6]

6)      Asas Personalitas Aktif.
Asas Personalitas merupakan asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[7]

7)      Asas Persamaan.
Asas Equality Before The Law, artinya setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.[8]

8)      Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang.
Artinya bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.[9]

9)      Asas Praduga Tak Bersalah.
Presumption of innocense artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[10]

10)  Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak.
Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[11]

11)  Sidang Terbuka Untuk Umum.
Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[12]

12)  Asas Adanya Bantuan Hukum.
Seseorang yang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.[13]

13)  Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[14]

14)  Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.[15]

15)  Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan.
Pangadilan dalam memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.[16]

16)  Pemberitahuan Apa yang Didakwakan.
Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.[17]

17)  Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap.
Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.[18]

D. Sumber Hukum Acara Pidana
1)      UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.[19]

2)      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).[20]

3)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.[21]

4)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.[22]

5)      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[23]
6)      Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.[24]

7)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.[25]

8)      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[26]
9)      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.[27]

10)  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[28]

11)  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.[29]

12)  Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.[30]

13)  Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.[31]

14)  Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan  Terhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
-         Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian  terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim[32]


[1] Ali Mustafa, Pengertian Hukum Acara Pidana, http://www.pengertianpakar.com, accsess 22 November 2015
[2] Dwi Oktarian, Asas Hukum Acara Pidana, http://ilmuhukumiain.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Erlanda Harviyata, Asas Hukum Acara Pidana, http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Bamz Jois, Asas Hukum Acara Pidana, http://hukuum.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Yosep Aliyin SH, Asas Hukum Acara Pidana, http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Djawara Putra Petir, Asas Dalam KUHP Acara Pidana, http://asasasasdaslamkuhap.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Naura Salsabila, Asas Hukum Acara Pidana, https://naurasalsabila.blogger.com, accsess 22 November 2015
[18] Ibid.
[19]Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet. III, 2009.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] H. Riduan Syahrani, SH, Buku Materi Dasar Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet.V, 2009.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Jupri S,H, Sumber Hukum Acara Pidana, http://www.negarahukum.com, accsess 22 November 2015
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Law Life, Sumber Hukum Acara Pidana, http://lawfile.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Izza Hasna Fuada, Sumber Hukum Acara Pidana, https://www.facebook.com/notes/izza-hasna-fuada, accses 22 November 2015
[32] Ibid.


1.Hukum Acara Pidana
             Adalah Hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga dapat memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Menurut Pramadyaa Puspa adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus di tegakkan atau dilaksanakan dengan baik, seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan.[1]

2.Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1)      Asas Inquisitoir.
Asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[2]

2)      Asas Legalitas.
Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada  suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.[3]

3)      Asas Accusatoir.
Asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.[4]

4)      Asas Opportunitas.
Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.[5]

5)      Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai Penyidik.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.[6]

6)      Asas Personalitas Aktif.
Asas Personalitas merupakan asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[7]

7)      Asas Persamaan.
Asas Equality Before The Law, artinya setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku, agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.[8]

8)      Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang.
Artinya bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.[9]

9)      Asas Praduga Tak Bersalah.
Presumption of innocense artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[10]

10)  Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak Memihak.
Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[11]

11)  Sidang Terbuka Untuk Umum.
Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[12]

12)  Asas Adanya Bantuan Hukum.
Seseorang yang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.[13]

13)  Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[14]

14)  Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.[15]

15)  Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan.
Pangadilan dalam memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.[16]

16)  Pemberitahuan Apa yang Didakwakan.
Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.[17]

17)  Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap.
Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.[18]

D. Sumber Hukum Acara Pidana
1)      UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1)
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.[19]

2)      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).[20]

3)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.[21]

4)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.[22]

5)      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[23]
6)      Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.[24]

7)      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.[25]

8)      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[26]
9)      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.[27]

10)  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[28]

11)  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.[29]

12)  Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.[30]

13)  Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.[31]

14)  Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan  Terhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
-         Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian  terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa
-         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim[32]


[1] Ali Mustafa, Pengertian Hukum Acara Pidana, http://www.pengertianpakar.com, accsess 22 November 2015
[2] Dwi Oktarian, Asas Hukum Acara Pidana, http://ilmuhukumiain.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Erlanda Harviyata, Asas Hukum Acara Pidana, http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Bamz Jois, Asas Hukum Acara Pidana, http://hukuum.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Yosep Aliyin SH, Asas Hukum Acara Pidana, http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Djawara Putra Petir, Asas Dalam KUHP Acara Pidana, http://asasasasdaslamkuhap.blogspot.com, accsess 22 November 2015
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Naura Salsabila, Asas Hukum Acara Pidana, https://naurasalsabila.blogger.com, accsess 22 November 2015
[18] Ibid.
[19]Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, cet. III, 2009.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] H. Riduan Syahrani, SH, Buku Materi Dasar Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet.V, 2009.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Jupri S,H, Sumber Hukum Acara Pidana, http://www.negarahukum.com, accsess 22 November 2015
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Law Life, Sumber Hukum Acara Pidana, http://lawfile.blogspot.co.id, accsess 22 November 2015
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Izza Hasna Fuada, Sumber Hukum Acara Pidana, https://www.facebook.com/notes/izza-hasna-fuada, accses 22 November 2015
[32] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar